Tanpa Hati Bersih, Manusia Tak Punya Arti
![]() |
Karya Wahyu Aditya |
"Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, garis keturunanmu atau kekayaanmu, tetapi Dia melihat hati dan perbuatanmu." (HR. Muslim, 2564)
Hadis ini merupakan bentuk anugerah
tak terhingga yang Allah berikan kepada setiap manusia, yang tidak memandang
apa pun pada makhluk-Nya, kecuali amal yang telah mereka perbuat selama
menjalani kehidupan di dunia ini.
Ada standar duniawi yang kadang
dijadikan ukuran untuk menghargai orang-orang menurut versi manusia, tapi ada
juga hal yang menjadi standar penilaian Ilahi.
Standar duniawi umumnya berupa
ketampanan, kecantikan dan keindahan rupa yang dinilai sebagai sesuatu yang
berharga, baik bagi pria maupun wanita. Juga dengan standar kekayaan—yang
dengannya kadang bisa membuat seseorang dinilai sebagai orang yang “layak”
dihormati. Pun begitu dengan status atau kedudukan.
Bahkan, kesalahan seburuk apa pun
kerap menjadi maklum bila dilakukan oleh orang-orang yang memiliki harta.
Padahal ketampanan, kecantikan, keindahan rupa, kekayaan, kekuasaan, keturunan,
tidak lain merupakan standar duniawi semata.
Seorang pria yang kuat memiliki
kemampuan untuk melakukan banyak hal bagi orang lain, misalnya dengan menawarkan
jasa atau tenaganya untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Atau, bisa juga
ia memilih untuk menolak melakukan banyak hal, yang tentu saja atas
kehendak-Nya. Namun, bisakah orang-orang kuat seperti ini menghindari
panggilan-Nya—di mana harta dan segala yang ia punya tak akan dapat
mendatangkan apa pun kecuali amal?
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (qalbun salim)” (Qs. 26: 88-89).
Ayat ini menunjukkan bahwa uang, kekuatan, ketampanan, kesehatan atau kepandaian tidak akan ada gunanya bagi manusia. Sebaliknya, hanya hati yang bersih dan perbuatan baik lah yang sejatinya akan berarti bagi manusia dan kelak mendatangkan manfaat bagi dirinya, kelak di yaumil mizan.
Dengan bijak, Imam Al-Fudhail bin
'Iyadh pernah mengatakan,
"Allah menerima perbuatan apa
pun yang Anda lakukan asalkan memenuhi dua syarat. Pertama, harus tulus,
dan kedua harus tepat. Untuk menjadi tulus berarti mau tidak mau Anda harus
melalui jalan di mana Allah pun meridhai tindakan Anda. Dan untuk mencari
keridhaannya, berarti Anda harus terus berada di jalan yang lurus (benar).
Perbuatan yang lurus, berarti Anda harus melakukannya sesuai Sunnah."
Allah Swt. menyeru kita untuk
mendapatkan kebahagiaan abadi, dan Dia menyeru kita untuk mencari surga yang
selebar langit dan bumi. Oleh karena itulah, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang rugi
ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari
kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Qs.
39:15)
Di hadapan Allah, manusia yang rugi bukanlah mereka yang kehilangan semua kekayaannya. Atau mereka yang dianggap pecundang adalah mereka yang kehilangan kedudukannya. Namun, Mereka yang disebut rugi dan pecundang terbesar adalah mereka yang kehilangan akhirat.
Sebab khidupan akhirat menawarkan manisnya kebahagiaan abadi. Di mana dalam keabadian itu, Anda dengan mudah mendapatkan segalanya—tanpa harus bekerja keras seperti halnya saat di dunia. Apa pun yang ada dalam pikiran, begitu cepat tersaji otomatis dalam genggaman Anda. Anda tidak perlu tangga untuk memanjat dan mengambil apa yang Anda inginkan.
Di hadapan Allah, manusia yang rugi bukanlah mereka yang kehilangan semua kekayaannya. Atau mereka yang dianggap pecundang adalah mereka yang kehilangan kedudukannya. Namun, Mereka yang disebut rugi dan pecundang terbesar adalah mereka yang kehilangan akhirat.
Sebab khidupan akhirat menawarkan manisnya kebahagiaan abadi. Di mana dalam keabadian itu, Anda dengan mudah mendapatkan segalanya—tanpa harus bekerja keras seperti halnya saat di dunia. Apa pun yang ada dalam pikiran, begitu cepat tersaji otomatis dalam genggaman Anda. Anda tidak perlu tangga untuk memanjat dan mengambil apa yang Anda inginkan.
Allah Swt. berfirman, “Makan dan minumlah dengan nikmat disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”. (QS. 69:24)
Subhanallah, manis bukan janji-Nya?
Lantas, benarkah janji Allah itu nyata?
Segala sesuatu dalam kehidupan
duniawi memiliki akhir. Berapa pun lamanya Anda tinggal dalam kehidupan duniawi
ini, entah itu sepuluh tahun, dua belas, dua puluh, atau bahkan ratusan tahun,
semua akan berakhir ketika Allah berkehendak mengakhirinya.
Mari kita katakan bahwa selama
bertahun-tahun Anda melakukan shalat lima waktu, berpuasa selama satu bulan
(Ramadhan) setiap tahun, Anda telah melakukan haji sekali, dua kali atau,
bahkan lebih banyak dari itu. Anda tawadhu, jujur, setia,tulus dan Anda
menyembah Allah Ta'ala. Anda dapat melakukannya selama bertahun-tahun, dan
semuanya akan berakhir saat kematian datang.
Jika surga ini tampak oleh mata,
maka mungkin dengan mudah Anda akan mengisi kehidupan keseharian Anda dengan
sederet prestasi yang mengarah pada pencapaian syurga. Karena dalam kehidupan
sehari-hari Anda: dari kata-kata, perbuatan, diam, memberi, mencegah, menjaga
hubungan baik dengan orang lain, memutuskan hubungan dengan mereka, pernikahan,
menjual dan membeli, dan sebagainya—Anda bisa mengukur dengan kaca mata Anda
sendiri.
Ya, karena kehidupan duniawi nyata
terlihat ada di depan mata kita. Sedangkan kemewahan dan kebesaran akhirat
hanya ada dalam janji-Nya yang termaktub dalam Qur’an. Inilah salah satu
alasan, yang menyebabkan manusia kadang meragukan apa yang Allah janjikan.
Padahal, jauh hari Allah sudah mengatakan bahwa janji-Nya adalah nyata dan benar.
Sebagaimana tertuang dalam kitab-Nya,
“Allah tidak akan menyalahi janjiNya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. 30: 6)
Sebagai contoh, dalam kehidupan
duniawi ada seorang wanita lewat di depan Anda, mobil mewah, sebuah villa yang
sangat bergengsi, taman, gerbang luas, dekorasi, furniture mewah, pesta sangat
mahal dan berwisata keliling dunia yang begitu menggiurkan mata Anda, sehingga
kehidupan duniawi tampak lebih nyata dibandingkan kehidupan akhirat, yang hanya
menjadi bagian dari berita. Itu pun kita mendengarnya tidak secara langsung
dari-Nya, melainkan melalui Kitab-Nya, Qur’an.
Kebanyakan orang menjual dan
membeli, mendapatkan uang, makan, berpakaian, menghadiri pesta-pesta,
mengendarai mobil dan pergi dengan keluarga mereka untuk piknik. Semua ini
adalah nyata, dan orang-orang dapat melihat mereka. Kebanyakan orang hidup saat
itu saja, jadi bagaimana kalau kita bayangkan nasib mereka di akhirat?
Mengapa Allah tidak melihat bentuk
rupa Anda?
“Hati adalah Rumah Tuhan.”
Kadang-kadang seorang pria memasuki
rumahnya yang catnya sudah tua. Ia pun kemudian mempercantiknya kembali, dengan
berbagai cara—mengecatnya, mengubah perabotan, mencuci mobilnya, memasang
pernak pernik yang sangat baik, memperindahnya, menghiasnya dengan aneka bunga,
menyemprot setiap sudut ruangan dengan wewangian, dan lain sebagainya—yang
tujuannya adalah untuk memperindah fisik bangunan itu. Dia peduli tentang
penampilannya; penampilan fisik, tentang cara dia membersihkan mobilnya dan
sekitar rumahnya.
Bangunan rumah tampak terlihat lebih
menawan pasca direnovasi, dengan sentuhan hiasan yang cukup baik. Apalagi
ditambah dengan penampilan sang pemilik rumah yang memakai pakaian sangat
elegan. Sayangnya, ia menggunakan kata-kata kotor ketika sedang berbicara
dengan tamu atau siapa pun yang ia temui. Ia tidak mengubah apa pun dalam
dirinya. Akhlaknya tetap kurang baik, wajahnya tanpa dihias senyum, dan begitu
terlihat angkuh lagi penuh kebencian.
Lantas, apa kira-kira yang akan
dikatakan orang-orang terhadapnya?
"Anda harus berbicara baik
sebagaimana cara Anda berpakaian, atau berhiaslah sesuai dengan cara Anda
berbicara."
Ya, itulah yang kemungkinan besar
akan dikatakan orang-orang kepada sang pemilik rumah. Tanpa hati yang bersih,
seindah apa pun tampilan fisiknya yang ia ubah, sungguh tak akan menghasilkan
kebaikan hubungannya dengan orang di sekitarnya.
Dalam hal ini, Abdullah bin Abbas
pernah bercerita:
Nabi Muhammad mengatakan bahwa suatu
ketika Nabi Daud As. bermunajat kepada Tuhannya:
“Ya Rabbi, ‘Siapakah hamba-Mu yang
paling Kau cintai?’
Kemudian Allah berfirman:
”Wahai Daud, hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah mereka yang hatinya bertakwa (hatinya bersih dari hal-hal yang tidak baik), dua tangannya bersih dari perbuatan kedzaliman (tidak menyakiti atau mengambil hak orang lain, seorang muslim yaitu selamatnya orang muslim lainnya dari kejahatan tangan dan lidahnya), dia tidak berjalan di tengah-tengah orang dengan namimah (mengadu domba orang), gunung dapat sirna/ bergeser dari tempatnya, tapi dia punya prinsip hidup (akidah) yang tidak dapat digeser oleh apapun juga, orang ini cinta pada-Ku dan dia juga cinta kepada orang yang cinta kepada-Ku dan dia pun mendorong kecintaan orang kepada-Ku”
Daud kemudian berkata, "Ya
Tuhanku, Engkau tahu, bahwa aku mencintai-Mu dan mencintai orang yang
mencintai-Mu.”
Ya, begitulah hati, tempat di mana
Tuhan hadir bersama tindakan Anda. Jadi, sudahkah hati kita dibersihkan? Wallahu
A’lam Bishowab. [islamindonesia.co.id]
Komentar
Posting Komentar